Pengunjung melintas depan Gedung Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, Kamis (21/2/2013). Selain berisi informasi tentang gempa dan tsunami, museum berlantai empat dengan arsitektur modern yang dibangun tahun 2007 tersebut juga diperuntukkan sebagai tempat evakuasi bencana alam.
BANDA ACEH, KOMPAS — Tiga tahun setelah resmi dioperasikan, Museum Tsunami Aceh kini terbengkalai. Di museum itu sejumlah alat peraga rusak tidak dapat difungsikan dan beberapa koleksi tidak memiliki plang informasi.
Museum Tsunami Aceh diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009. Selama dua tahun dilakukan proses koleksi dan pada 8 Mei 2011 museum ini mulai dibuka untuk umum.
Pembangunan museum itu untuk mengenang tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang memakan korban tewas sekitar 240.000 jiwa. Suasana dan koleksi di museum tersebut didesain sedemikian rupa agar pengunjung dapat meresapi dahsyatnya tsunami.
Museum itu memiliki 55 koleksi, terdiri dari 7 unit maket, 22 unit alat peraga, dan 26 unit foto ataupun lukisan yang menggambarkan keadaan tsunami di Aceh. Namun, ketika memasuki ruang koleksi, suasana mengenang tsunami terusik oleh kondisi koleksi yang tak sempurna. Sejumlah koleksi, seperti ruang simulasi gempa, alat peraga rumah tahan gempa dan rumah tak tahan gempa, serta alat peraga gelombang tsunami, tak berfungsi.
Tombol untuk menyalakan ruang peraga gempa juga tidak menyala. Kondisi serupa terjadi pada alat peraga rumah tahan gempa dan tak tahan gempa.
Perawatan minim
Petugas pemandu di Museum Tsunami Aceh, Meili Nuzuliana, Jumat (10/1/2014), mengatakan, sejumlah koleksi itu rusak setahun terakhir. ”Kerusakan terjadi karena minimnya perawatan dan ulah tangan-tangan jahil,” katanya.
Pengunjung menikmati suasana di Gedung Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, Rabu (20/2/2013). Selain berisi informasi tentang gempa dan tsunami, museum berlantai empat dengan arsitektur modern yang dibangun tahun 2007 tersebut juga diperuntukkan sebagai tempat evakuasi bencana alam.
Kepala Museum Tsunami Aceh Zuhardi Hatta menuturkan, di museum tersebut terdapat 22 petugas pemandu, 12 petugas kebersihan, 9 tenaga keamanan, dan 6 teknisi. Ia menilai kinerja petugas belum optimal”Penyebabnya, mungkin karena honor yang rendah. Saya sendiri hanya mendapat Rp 450.000 per bulan,” ujar Zuhardi yang juga karyawan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Adapun semua petugas tersebut merupakan petugas kontrak di bawah naungan Museum Geologi Bandung, Jawa Barat, yang dimiliki Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).Di sisi lain, kata Zuhardi, status museum itu sampai sekarang kurang jelas. Museum itu bukan lembaga independen, melainkan lembaga di bawah naungan nota kesepahaman antara Kementerian ESDM dan Pemerintah Aceh. ”Biaya operasional museum sepenuhnya dari Kementerian ESDM, tetapi saya tak tahu nominalnya,” kata Zuhardi. (DRI)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan